header pengadilan agama tutuyan


Menakar Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Perceraian

Oleh: Dr. Hj. Lailatul Arofah, M.H.

(Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Samarinda)

 

I.     PENDAHULUAN

Dalam membangun mahligai rumah tangga, tidak sedikit pasangan suami istri terpaksa harus menelan kepahitan akibat kegagalan mereka dalam merawat cinta kasih dalam kehidupan rumah tangga yang pada akhirnya Pengadilan Agama menjadi pintu darurat untuk keluar dari kemelut rumah tangga yang dialami.

Pada umumnya perselisihan dan pertengkaran rumah tangga antara suami isteri lebih merupakan masalah rahasia rumah tangga yang sangat bersifat tertutup, sehingga jarang diketahui oleh pihak luar selain suami isteri itu sendiri, bahkan sangat mungkin terjadi pihak keluarga sekalipun tidak mengetahui secara pasti masalah yang sedang dialami dan terjadi dalam rumah tangganya. Pihak luar bahkan keluarga sekalipun biasanya mengetahui adanya perselisihan dan pertengkarannya hanya berdasarkan cerita maupun laporan (curhat) dari masing-masing pihak, sebab itulah dalam masalah rumah tangga pengetahuan saksi lebih banyak diketahui dari curhat maupun cerita dari masing-masing atau salah satu pihak, oleh karena itu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 308 K/Pdt/1959 tanggal 11 November 1959, mengkonstruksikan kesaksian testimonium de auditu dapat dipergunakan sebagai bukti persangkaan.

Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran. Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut, melainkan kebenaran yang bersifat relative atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikian pun, bukanlah persoalan yang mudah.1

Seiring perkembangan kehidupan, semakin banyak pasangan suami istri yang tidak memiliki banyak kesempatan untuk bercengkrama di rumah, bahkan karena tuntutan pekerjaan tidak sedikit yang terpaksa harus hidup terpisah. Komunikasi lebih banyak dilakukan secara daring dari pada komunikasi secara luring. Oleh karena itu saat ini semakin marak bukti-bukti pertengkaran suami istri yang diajukan dalam bentuk printout Chat WhatsApp, Facebook, Instagram, video dan bukti elekronik lainnya.

Tahun 2008 menjadi momentum bersejarah dalam perkembangan hukum di Indonesia dengan keluarnya undang-undang yang mengatur mengenai cyberspace yaitu Undang-undang no 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai definisi Informasi elektronik; adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya vide Pasal 1 ayat (1).2

Seiring perjalanan waktu, terlebih setelah dunia dihempas oleh badai Pandemi Covid-19, kegiatan yang berbasis elektronik telah menyentuh semua lini kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan prifat, pertengkaran rumah tangga juga banyak yang terjadi secara virtual atau bisa juga disebut pertengkaran rumah tangga berbasis elektronik.

II.      PERMASALAHAN

Berangkat dari kenyataan di atas, maka dalam artikel ini, penulis akan mengkaji permasalahan berikut:

 1. Apakah alat bukti elektronik dapat dijadikan bukti perkara perceraian?

 2. Bagaimana hakim melihat syarat formil dan materiil bukti elektronik serta menakar kekuatannya dalam perkara perceraian?

III.     PEMBAHASAN

A. ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERKARA PERCERAIAN

Kasus perceraian merupakan jenis kasus yang mendominasi Peradilan Agama di seluruh Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama (vide pasa 49 Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009) adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a) perkawinan; b) waris; c) wasiat;  d) hibah; e) wakaf; f) zakat; g) infaq; h)  shadaqah; i)  ekonomi syari'ah.

Perkara perceraian merupakan bagian dari sengketa bidang perkawinan. Oleh karena Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, maka pintu masuk penyelesaian sengketa rumah tangga/perceraian ini adalah di Pengadilan Agama.

Untuk mengajukan perkara perceraian harus ada alasan yang cukup menurut hukum, sehingga gugatan cerai bisa dikabulkan.

Alasan-asalan tersebut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga;

Ke enam alasan tersebut di atas juga diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan ditambah dua ayat lagi yaitu:

1. Suami melanggar taklik-talak;

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga

Agar permohonan cerai / gugatan cerai dikabulkan, maka Pemohon/Penggugat harus dapat membuktikan bahwa permohonan/gugatannya beralasan hukum;

Alasan perceraian yang paling menonjol selama ini adalah pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975  jo pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam yakni antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Permasalahan kehidupan rumah tangga adalah ranah yang sangat prifat, banyak persoalan diantara suami istri yang tidak diketahui atau tidak mudah diketahui atau paling tidak sulit dideteksi oleh orang lain, apalagi bagi pasangan suami istri yang merantau dan jauh dengan keluarga.

Kesulitan mencari saksi yang mengetahui secara langsung pertengakaran suami istri serta hal yang menjadi sebab pertengkarannya sering dialami oleh para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama. Terkadang kesulitan mencari saksi juga terjadi karena orang yang mengetahui persoalan, enggan datang ke Pengadilan karena takut dinilai mencampuri urusan rumah tangga orang lain atau takut dinilai membela salah satu pihak atau karena sebab yang lainnya, karena kehidupan di era digital saat ini menjadi semakin individualis, oleh karena itu pada kondisi saat ini, para pihak akan lebih mudah menyerahkan bukti elektronik dari pada menghadirkan dua orang saksi yang memenuhi syarat formil dan meteriil;

Dr. Munir Fuady,S.H.,M.H.,LL.M dalam bukunya yang ditulis dua tahun sebelum UU ITE lahir yang berjudul Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata) menyebutkan bahwa siapapun, termasuk pengadilan tidak boleh menolak efek hukum, validitas hukum, dan pelaksanaan hukum semata-mata karena hal tersebut merupakan data elektronik.3

Lebih jauh Munir Fuady juga mengemukakan ketentuan dasar atas pengakuan alat bukti elektronik adalah dengan Prinsip Praduga Ontentisitas. Prinsip Praduga Ontentisitas (presumption of authenticity) merupakan suatu ketentuan yang sering digunakan untuk membuktikan keaslian suatu dokumen/data digital, artinya bahwa hukum pembuktian beranggapan bahwa suatu dokumen/data digital dianggap asli, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Yang dilakukan dalam hal ini adalah suatu pembuktian terbalik (Omkering van bewijslast), yakni barang siapa yang menyatakan bahwa alat bukti tersebut palsu, dialah yang harus membuktikannya. Dengan demikian sebagai konsekwensi dari prinsip Praduga Ontentisitas ini adalah bahwa pengadilan tidak boleh menolak alat bukti digital, hanya karena itu adalah bukti digital, tetapi jika mau ditolak, pihak yang berkeberatan atas bukti tersebut harus mengajukan alasan-alasan yang rasional, misalnya dengan membuktikan bahwa alat bukti digital tersebut adalah palsu atau hasil rekayasa.4

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pada tahun 2008 merupakan tonggak sejarah mulai diakuinya bukti elektronik sebagai bukti yang sah dalam Peradilan di Indonesia, dalam Pasal 5 UU No 11 Tahun 2008 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016) disebutkan mengenai Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana termaktub dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah; selanjutnya dalam pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia;

Sebelumnya ada beberapa negara di dunia sudah mengadopsi perkembangan teknologi digital ke dalam hukum pembuktiannya, seperti:

- Hongkong telah memiliki Undang-Undang tentang Transaksi Elektronik sejak tanggal 7 Januari 2000;

- Inggris telah memiliki The Electro Communication Bill sejak tanggal 26 januari 2000

- Jepang telah memiliki Undang-Undang tentang tanda tangan elektronik dan Notarisasi Bisnis Nomor 102 , tanggal 31 Mei 2000;

Dengan demikian sudah lebih dari dua puluh tahun bukti elektronik ini digunakan di beberapa negara di atas, dan di Indonesia juga sudah 13 tahun bukti elektronik ini dinyatakan sebagai perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum acara, akan tetapi ironisnya hingga saat ini, masih ada hakim yang menolak bukti-bukti tersebut dengan alasan tidak termasuk bukti yang secara limit diatur dalam HIR/RBg yang hanya mencantumkan bukti Tulisan/Surat, Saksi-saksi, Persangkaan, Pengakuan dan sumpah;

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 20/PUU-XIV/2016 menegaskan bahwa ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya, di satu sisi merupakan perluasan alat bukti sebagai bukti petunjuk dan di sisi lain merupakan bukti yang berdiri sendiri di luar alat bukti yang diatur dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana, sehingga ketentuan pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE justru memberi kepastian hukum bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya adalah alat bukti yang sah;

Dari uraian di atas, maka tidak ada alasan mengenyampingkan bukti elektronik (semata-mata karena bukti a quo adalah bukti elektronik) dalam sengketa rumah tangga/perceraian, karena perkembangan teknologi tidak dapat dihindari, bahkan kegiatan yang bersifat elektronik telah memasuki seluruh sistem kehidupan manusia saat ini. Walaupun demikian untuk masing-masing alasan perceraian, secara materiil bisa jadi bukti elektronik hanya dinilai sebagai bukti permulaan maupun bukti persangkaan, namun sudah saatnya bukti elektronik tidak lagi ditolak ataupun dikesampingkan dengan alasan karena tidak diatur dalam HIR/RBg.

B. MENAKAR KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERKARA PERCERAIAN

Setelah Undang-undang memperbolehkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya dijadikan sebagai bukti yang sah di persidangan sebagaimana tersebut di atas, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana hakim melakukan penilaian terhadap syarat formil dan syarat materiil alat bukti elektronik tersebut.

Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data elektronik juga menyangkut aspek validitas yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti non-elektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya.5

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UU ITE. Dengan demikian penggunaan dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang dianggap sah apabila menggunakan suatu sistem elektronik sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008, yang menentukan bahwa dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggung jawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.

Undang-undang mengatur Syarat formil dan materiil bukti elektronik secara umum, sehinga menuai berbagai perbedaan dalam tataran praktisnya.

Sepanjang isi dari bukti elektronik dapat dilihat, dibaca dan difahami isinya, dan bila dicetak telah dibubuhi meterai menurut penulis bukti elektronik tersebut telah memenuhi syarat formil alat bukti elektronik (vide pasal 6 UU ITE dan pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 Tahun 2020 Tentang bea meterai). Sedangkan secara materiil yang menyangkut apakah bukti tersebut dari segi konten/isinya benar atau tidak, ada kaitannya dengan perkara tersebut atau tidak, maka dalam hal ini penulis berpendapat bahwa secara teoritis maupun praktis, prinsip Praduga Otentisitas lebih mudah dan lebih adil untuk diterapkan.

Yang dimaksud Prinsip Praduga Otentisitas (Presumption of Authenticity) adalah bahwa hukum pembuktian beranggapan bahwa suatu dokumen/data digital atau tanda tangan digital dianggap asli, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Yang dilakukan dalam hal ini adalah suatu pembalikan beban bukti (omkering van bewijslast), artinya barangsiapa yang menyatakan bahwa alat bukti tersebut palsu, dialah yang harus membuktikannya.6

Dengan Prinsip Praduga Otentisitas sebagaimana tersebut di atas, maka untuk menilai secara materiil suatu bukti elektronik, Hakim cukup menanyakan kepada pihak lawan apakah bukti tersebut benar ataukah tidak? kalau pihak lawan mengakui maka peristiwa yang didalilkan dinilai terbukti, kalau pihak lawan menyangkal, maka pihak lawan yang dibebani bukti untuk menguatkan dalil sanggahannya.

Selanjutnya bagaimana hakim menilai kekuatan bukti elektronik dalam kasus perceraian ? perkara perceraian merupakan kasus yang spesifik, oleh karena itu tata aturan persidangan dan pembuktiannya juga ada yang diatur secara husus, diantaranya mengenai kewajiban menghadirkan saksi yang justru diutamakan dari pihak keluarga atau orang yang dekat dengan suami istri.

Dalam Pasal 22 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 maupun dalam Pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU.No.3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU.No.50 Tahun 2009, yang intinya bahwa dalam hal gugatan perceraian didasarkan pada alasan antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga atau syiqaq, dalam memutus perkara perceraian tersebut harus didengar keterangan saksi‑saksi yang berasal dari keluarga atau orang‑orang yang dekat dengan suami istri. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami secara eksplisit bahwa pembuktian dalam perkara perceraian karena alasan tersebut harus dengan alat bukti saksi.

Untuk menghadirkan saksi yang secara Formal memenuhi syarat dalam kehidupan yang semakin individualis tentu tidaklah mudah, apalagi saksi yang memenuhi syarat materiil yakni yang melihat, mendengar dan menyaksikan langsung pertengkaran suami istri, oleh karena itu penulis berpendapat kehadiran saksi keluarga atau orang yang dekat dengan suami istri tersebut pada hakekatnya undang-undang ingin mengetuk kepedulian keluarga atau orang – orang yang dekat tersebut untuk turut serta berperan merukunkan kembali pasangan suami istri tersebut, maka saksi yang dihadirkan untuk perceraian dengan alasan pasal 19 (f) PP nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam, tidak harus melihat dan menyaksikan kejadian yang menjadi sebab pertengkaran secara langsung dan dalam kondisi seperti ini bukti elektronik dapat dijadikan bukti yang meyakinkan hakim mengenai sebeb pertengkaran pasangan suami istri tersebut, misalnya bukti printout Chat WhatsApp, Instagram, Facebook dan media sosial lainnya.

Dengan demikian bukti elektronik dalam perkara perceraian husus kasus dengan alasan pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 KHI, maka bukti elektronik menjadi bukti permulaan dan sekaligus bukti persangkaan bila para saksi keluarga tidak ada yang melihat kejadian secara langsung, atau tidak ada yang mengetahui sebab pertengkaran para pihak.

Bukti elektronik juga dapat menjadi sarana yang mudah bagi pihak untuk membuktikan peristiwa yang sering disangkal oleh pelaku, misalnya kasus perselingkuhan dari yang paling ringan sampai yang berat untuk saat ini lebih mudah diungkap dengan bukti eletronik dan dengan Prinsip Praduga Otentisitas, maka tidak mudah bagi pelaku untuk mengelak sepanjang kejadian tersebut memang benar.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa husus terhadap perceraian dengan alasan adanya pertengkaran secara terus menerus dan tidak ada harapan untuk rukun kembali (vide pasal kekuatan19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 jo pasal 116 KHI) bukti elektronik tidak dapat berdiri sendiri, karena regulasinya memang mengharuskan para pihak menghadirkan saksi dari unsur keluarga atau orang yang dekat, sedangkan terhadap perceraian dengan alasan-alasan yang lain, kekuatan bukti elektronik dapat dinilai oleh hakim dengan penerapan prinsip Praduga Otentisitas.

Dengan penerapan prinsip Praduga otentisitas (Presumption of authenticity), maka dalam menilai kekuatan bukti elektronik, hakim harus melihat sikap pihak lawan:

1. Jika pihak lawan mengakui baik secara tegas (pernyataan pengakuan) atau secara diam-diam (tidak membantah), maka kekuatan bukti elektronik tersebut sama dengan Pengakuan.

2. Jika pihak lawan membantah, maka dibebani bukti untuk meneguhkan dalil bantahannya dan apabila pihak lawan bisa membuktikan kalau bukti elektronik tersebut tidak benar, maka bukti elektronik ini lumpuh / tidak mempunyai kekuatan, sehingga patut dikesampingkan. Dalam dalam membuktikan dalil sanggahan inilah berlaku segala ketentuan verifikasi dan otentifikasi bukti elektronik yakni digital forensic, keterangan saksi ahli dan lain-lain.

3. Jika pihak lawan membantah, namun tidak dapat sepenuhnya membuktikan ketidak benaran bukti elektronik tersebut, maka hakim dapat menilai kekuatan bukti elektronik tersebut sebagai bukti permulaan ataupun bukti persangkaan yang harus dikaitkan dengan bukti-bukti yang lainnya.

IV.     PENUTUP

 A. KESIMPULAN

Setelah Undang-undang memperbolehkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya dijadikan sebagai bukti yang sah di persidangan sebagaimana tersebut di atas, maka pertanyaan berikutnya adalah bagaimana hakim melakukan penilaian terhadap syarat formil dan syarat materiil alat bukti elektronik tersebut.

Analisis permasalahan sebagaimana tersebut di atas, menghantarkan penulis pada kesimpulan sebagai berikut:

1. Alat bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti perkara perceraian, karena alat bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia (vide pasal 5 ayat (2)  UU ITE);

2. Sepanjang isi dari bukti elektronik dapat dilihat, dibaca dan difahami isinya, dan bila dicetak telah dibubuhi meterai, maka bukti elektronik tersebut telah memenuhi syarat formil alat bukti elektronik (vide pasal 6 UU ITE dan pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 Tahun 2020 Tentang bea meterai);

3. Untuk menguji syarat materiil dan kekuatan bukti elektronik, maka alat ukur yang mudah dan adil adalah dengan menerapkan Prinsip Praduga Otentisitas (Presumption of authenticity). Hakim cukup menanyakan kepada pihak lawan apakah bukti tersebut benar ataukah tidak? kalau pihak lawan mengakui maka peristiwa yang didalilkan dinilai terbukti, kalau pihak lawan menyangkal, maka pihak lawan yang dibebani bukti untuk menguatkan dalil sanggahannya. Selanjutnya dalam membuktikan dalil sanggahan inilah berlaku segala ketentuan verifikasi dan otentifikasi bukti elektronik.

 B. SARAN

Karena pembuktian merupakan bagian dari ranah hukum formil, maka untuk menghindari disparitas standar penilaian terhadap bukti elektronik, idealnya paling tidak ada SEMA yang memberikan pedoman terhadap persoalan ini, karena Hukum Formil selalu mengedepankan keadilan procedural dan kepastian hukum, maka problem hukum formil semestinya tidak diselesaikan melalui ijtihad fardi (perorangan) melainkan harus berupa hasil ijtihad jama’I (ijtihad Lembaga).

Demikian penulis mencoba berijtihad dengan segala keterbatasan ilmu dan minimnya petunjuk praktis dalam menyikapi bukti elektronik. Tulisan ini juga dipicu oleh keprihatinan penulis atas adanya penolakan bukti elektronik setelah tiga belas tahun UU ITE diberlakukan, dengan alasan tidak diatur secara limit dalam HIR/RBg, semoga tulisan ini bermanfaat, selanjutnya mohon kritik dan saran sebagai bahan penyempurnaan dan kajian selanjutnya.

 

1. Yahya harahap, “Hukum Acara Perdata,Sinar Grafika, cet keempat tahun Mei 2006,  hlm.. 496

2. Muhammad Jodi S dan Edy Herdiyanto SH., MH., “Alat Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Persidangan Dalam Hukum Acara Pidana” hlm. 10

3. Dr. Munir Fuady,S.H.,M.H.,LL.M, “Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm 156

4. Ibid

5. Muhammad Jodi S dan Edy Herdiyanto SH., MH., Op.Cit., hlm. 4

6. Munir Fuady, Loc. Cit

 

 

 

 

Hubungi Kami

Pengadilan Agama Tutuyan

Jl. Inalom, Jalur Dua, Komplek Perkantoran SKPD, Tutuyan II, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Kode Pos 95783

Telp: (0434) 2622383
Fax:

Email     : patutuyanAlamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
 

 

Social Media PA Tutuyan :        

 iconfinder social facebook circle 771367        Instagram         iconfinder twitter 1220342

              

Lokasi :

Jam Pelayanan

Jam Pelayanan

Senin-Kamis : 08.00 - 16.30 WITA

Jum'at : 08.00 - 17.00 WITA

 

Istirahat

Senin-Kamis : 12.00 - 13.00 WITA

Jum'at : 11.30 - 13.00 WITA

 

Jadwal Sidang

Senin-Jum'at : 09.00 - Selesai

 

Pelayanan yang berkaitan dengan PNBP mengikuti jam pelayanan BANK

 

}); })(jQuery);